SUARANTT.COM,-Dalam beberapa hari terakhir ini NTT sedang digemparkan dengan isu yang cukup hangat dan banyak dibicarakan di berbagai kalangan terkait isu relokasi terhadap warga Pulau Kera yang akan dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Kupang.
Menanggapi Hal itu, FMN menilai konsep itu juga banyak sekali kejanggalan yang ditemukan; pertama apa urgensi dari relokasi yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Kupang terhadap masyarakat pulau kera, apakah masyarakat sedang membutuhkan relokasi tersebut?atau karena ini hanya untuk ambisi proyek pembangunan pariwisata semata? Karena kalau kita cek lebih lanjut konsep relokasi ini terkesan sangat buru-buru.
Yang kedua FMN menyoroti terkait bagaimana pendekatan pemerintah kabupaten Kupang terhadap masyarakat yang menjadi sasaran relokasi yang tidak humanis dan kesannya mengancam jika masyarakat tidak mau atau tidak setuju dengan konsep relokasi tersebut.
Ketua FMN menegaskan pernyataan bupati kupang Yosef Lede “Dengan nada tinggi dan penuh intimidasi secara eksplisit mengancam akan mengerahkan aparat dalam jumlah besar, lengkap dengan alat berat, untuk meratakan permukiman warga jika perintah relokasi tidak segera dipatuhi,” Ujar Ketua FMN Falentino menggambarkan situasi yang baru-baru terjadi di pulau Kera sekaligus mengutip pernyataan kontroversi bupati kupang.
“Beta akan bawah pasukan lima trek, Beta akan bawah eksa dan beta akan garuk sampai rata,” demikian ancaman eksplisit yang diduga dilontarkan oleh Yosef Lede, menggambarkan dengan jelas niat untuk menghancurkan rumah dan kehidupan warga Pulau Kera secara paksa.
Dengan dalil bahwa konsep relokasi tersebut instruksi langsung dari Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, terkait dengan pengambilalihan seluruh kawasan Hak Guna Usaha (HGU).
Kemudian pernyataan Yosef Lede bahwa “Yang tidak ada KTP Kupang, suruh pulang, pulang. Beta kasih tahu memang, jangan macam-macam, kalau beta sudah kasih ingat baik-baik jangan cari gara-gara,” ancamnya dengan nada diskriminatif dan mengabaikan hak asasi manusia untuk memberikan bantuan dan dukungan.
Menurut Falentino, ultimatum yang diberikan Yosef Lede sangat jelas dan tidak memberikan ruang untuk negosiasi yang setara,
Bahkan Bupati kupang memberi estimasi waktu jika 3 minggu tidak ada kesepakatan maka akan menyapu rata warga dengan alat berat
“Jadi beta kasih ingat baik-baik, tiga minggu dari sekarang kalau tidak ada kesepakatan, kita sapu sampai rata! Kalau beta su omong seperti ini, keinginannya su jelas, jelas sekali,” Ujar Yosef Lede saat berhadapan dengan warga pulau Kera.
Dari pernyataan yang di keluarkan oleh Yosef Lede tersebut menunjukkan bagaimana sikap arogansi pemerintah terhadap pembangunan yang menegasikan prinsip dialog dan mencederai harkat martabat masyarakat (kemanusiaan).
Ketua FMN Cabang Kupang juga menjelaskan ada beberapa situasi di NTT pasca pertemuan KTT G20 yang di adakan di Bali-Labuan Bajo 2022 lalu yang kemudian melahirkan beberapa kesepakatan yaitu salah satunya adalah persoalan energi baru terbarukan.
Hal ini kemudian berimbas langsung pada provinsi NTT sendiri yang kemudian melahirkan adanya pembagian wilayah besar yaitu Pulau Flores Raya melalui SK Kementerian ESDM/2268/2017 di tetapkan sebagai pulau panas bumi (Geothermal), kemudian untuk pulau Timor melalui SK KLHK/357/2016 yang menetapkan bahwa hutan Laob Tunbesi sebagai kawasan hutan produksi tetap dengan luas cakupan sebesar 58.000 HA tanah yang di dalamnya terdapat 42 desa, kawasan hutan camplong juga di tetapkan sebagai kawasan hutan produksi oleh KLHK dan kemudian untuk pulau Sumba sebagai pemasok ternak, perkebunan skala besar dan juga food estate, yang ketiga pulau ini telah masuk dalam kawasan Project Strategis Nasional (PSN).
Dari beberapa keputusan ini kemudian berimbas langsung pada kondisi masyarakat di NTT yang mayoritasnya adalah Petani dan Peternak.
Menurut Ketua FMN dengan adanya program yang rakus akan tanah ini, akan mempersempit ruang hidup masyarakat adat atau masyarakat di pedesaan.
Hal ini kemudian telah terbukti dengan adanya gelombang perlawanan dan penolakan yang besar-besaran dari masyarakat saat ini.
Misalnya untuk proyek Geothermal di pulau Flores sudah ada banyak penolakan dari masyarakat seperti di Wae sano, di Pocoleok yang hari ini sedang panas-panasnya, kemudian di Mataloko, kemudian di Ata Dei juga kemudian melakukan hal yang sama.
Untuk di pulau Timor gelombang penolakan sudah dilakukan oleh masyarakat seperti di Pubabu-Besipae yang dari 2008 sampai sekarang masih berhadapan dengan Dinas Peternakan dan Kehutanan yang masih menduduki wilayah mereka, kemudian di Amanuban juga melawan Otoritas Kesatuan Pengelola Hutan (KPH), kemudian di masyarakat oemofa juga sedang berjuang untuk mendapatkan kepastian ruang hidup dari dinas pertanian.
Selain itu Valentino juga menyoroti bagian pariwisata, karena ambisi pembangunan tersebut, seperti yang di rasakan oleh masyarakat Ata Modo sebagai orang asli dari pulau Komodo yang terancam di relokasi dari tanah mereka, kemudian pembangunan pariwisata di Labuan Bajo saat ini yang kemudian melarang masyarakat di daerah pesisir untuk menangkap ikan hanya karena alasan pembangunan pariwisata dan sekarang sudah mulai dirasakan oleh masyarakat Pulau Kera yang juga terancam akan di relokasi dari kehidupan mereka.
Dikatakan Valentoni hal ini jelas bahwa arogansi kekuasaan menutup mata akan konsep kemanusiaan hanya karena iming-iming profit semata. “Di tengah banyak kasus agraria yang tak juga kunjung diselesaikan oleh pemerintah hari ini malah menimbulkan persoalan baru lagi,” ujarnya.
Ia menegaskan tidak ada konsep humanis dari pemerintah dan tidak ada keseriusan dalam penanganan kasus-kasus seperti di atas, maka harus terus di gaungkan perlawanan terkait ketidakadilan seperti ini, sebab pemerintah sendiri tidak memberikan dan menjamin ruang hidup yang aman bagi masyarakatnya.