SUARANTT.COM,-Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) Zet Tadung Allo menegaskan komitmennya dalam mengusut tuntas dugaan korupsi pada proyek pembangunan 2.100 unit rumah bagi warga eks Timor Timur di Kabupaten Kupang.
Sebelumnya Bupati Kupang Yosef Lede, berupaya untuk warganya segera masuk hunian perumahan 2.100 dengan mengutamakan Asas Manfaat tanpa melihat asas kemanusiaan atau keselamatan warga.
Sementara itu, menanggapi aksi damai ratusan massa dari Aliansi Nasional Untuk Demokrasi Baru (ANUDB), Zet Tadung Allo menekankan asas “Keselamatan Rakyat sebagai Hukum Tertinggi” atau Salus Populi Suprema Lex Esto, sembari menyoroti kondisi hunian yang dinilai belum layak.
“Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Kita harus memikirkan bagaimana kalau masyarakat masuk dalam kondisi rumah yang seperti ini. Jadi, manusia perlu untuk diselamatkan,” ujar Zet Tadung Allo tegas saat menerima audiensi perwakilan ANUDB pada Senin, 16 Juni 2025.
Pernyataan ini diutarakan dalam pertemuan dengan perwakilan ANUDB yang terdiri dari Aliansi Reforma Agraria (AGRA) NTT, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang, Serikat Perempuan Naibonat, dan Ikatan Kaum Intelektual Fatuleu (IKIF).
Dalam audiensi tersebut, masyarakat mendesak transparansi proses penegakan hukum, pengungkapan indikasi korupsi, serta penjelasan terkait temuan pembangunan yang tidak sesuai Rencana Anggaran Biaya (RAB). Selain itu, mereka juga menuntut pengusutan dugaan perampasan hak normatif buruh, termasuk upah dan jaminan keselamatan kerja, serta ketiadaan BPJS Ketenagakerjaan.
Zet Tadung Allo, dalam kesempatan tersebut menegaskan pentingnya penyelamatan uang negara dalam proyek ini. “Karena ini menggunakan uang negara, maka kita harus menyelamatkan uang negara. Jangan jatuh satu sen pun pada orang yang tidak berhak. Apalagi kalau miliaran,” ungkapnya.
Guna menjamin transparansi, Kejati NTT mempersilakan wartawan dan masyarakat untuk melakukan pengecekan langsung ke lokasi proyek di Burung Unta, Kabupaten Kupang. “Saya persilakan rekan-rekan media, coba cek sampai di mana kondisi Fasus (fasilitas khusus), Fasos (fasilitas sosial), Fasum (fasilitas umum) yang ada di sana,” imbuhnya.
Ia menjelaskan bahwa beberapa fasilitas dasar yang diidentifikasi pihaknya pada Februari lalu tengah dalam proses perbaikan oleh kontraktor pelaksana proyek yakni PT Brantas Abipraya, PT Nindya Karya, dan PT Adhi Karya. Namun, Zet Tadung Allo menekankan bahwa tim ahli akan dilibatkan untuk menilai kelayakan hunian setelah perbaikan. “Setelah diperbaiki, ada juga tim ahli yang menilai bahwa rumah ini layak dihuni, bebas dari ancaman gempa,” ujarnya.
Zet Tadung Allo juga menyoroti konsep pembangunan rumah yang seharusnya berupa Rumah Tahan Gempa (RTG) dan Rumah Instan Sederhana Sehat (RISA) yang dibangun cepat. Namun, ia mengakui adanya pelanggaran asas ketepatan waktu.
“Karena rumah ini konsepnya adalah RTG (rumah tahan gempa), RISA (rumah instan sederhana, sehat) sehingga dibangun cepat. Tetapi unsur ketepatan waktu ini sudah melanggar asas sebetulnya,” kata Zet.
Pihak Kejati juga meminta publik untuk memantau kelengkapan infrastruktur dasar seperti listrik, air, jalan, masjid, dan gereja.
“Inilah tujuan penegakan hukum yang dapat berdampak pada keselamatan rakyat dan juga memberikan kepastian bahwa setiap program-program pemerintah itu kita pastikan bahwa di sana itu dalam tanda kutip, tidak ada Korupsi,” jelasnya.
Zet Tadung Allo juga menyatakan dengan tegas bahwa penerima rumah adalah manusia, bukan benda mati.
“Kita harus pastikan bagaimana masyarakat bisa masuk tinggal di rumah yang layak, tidak kedinginan tidak kepanasan. Mereka ini bukan barang, mereka ini ada keluarga. Kalau mau dimasukan ke rumah, ini bukan gudang. Ini manusia yang akan dimutasikan komunitas yang pindah ke perumahan itu. Ini yang harus kita pastikan. Sebagai negara, kewajiban negara harus menjamin keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Itulah fungsi kami hadir dengan kewenangan kami dalam proses penyelidikan,” tegasnya, menekankan peran Kejati dalam memastikan hak-hak dasar masyarakat terpenuhi.
Ia menambahkan bahwa spesifikasi proyek bahkan mencakup taman, pot bunga, dan penanaman dua pohon minimal di setiap rumah, yang menjadi tanggung jawab kontraktor.
Di sisi lain, perwakilan masyarakat eks Timor Timur, Henrik, menyampaikan bahwa relokasi ke Burung Unta bukanlah solusi jika tolok ukur kesejahteraan dan keselamatan. Ia menegaskan bahwa masyarakat menolak keras relokasi dan menginginkan pengakuan hak atas kepemilikan tanah yang telah mereka tempati selama 27 tahun, serta bantuan untuk membangun di lokasi tersebut.
Senada dengan Henrik, Jose, warga lainnya, mendesak Kejati NTT untuk memberikan kepastian mengenai kelayakan hunian tersebut sebelum masyarakat ditempatkan.
“Kami meminta keseriusan dan ketegasan Kejati guna menindaklanjuti hasil-hasil temuan itu sebelum ada pernyataan dari Kejati tentang layak dan tidak layak perumahan, maka seharusnya rakyat tidak dibiarkan untuk menghuni,” pungkasnya.
Penyelidikan atas kasus dugaan korupsi dan kelayakan hunian ini masih terus berjalan, dengan fokus pada keselamatan dan kesejahteraan warga eks Timor Timur sebagai prioritas utama.