SUARANTT.COM,-Upaya pemerintah daerah kabupaten kupang melakukan relokasi terhadap pejuang Timor-timor di kecamatan Fatuleu mendapat penolakan keras.
Hal ini dibuktikan dengan aksi demonstrasi Jilid I di kantor bupati kupang Oelamasi baru-baru ini, dan jilid II di dua titik yakni kantor Gubernur NTT dan Kejaksaan tinggi NTT, pada Senin (16/6/2025).
Terpantau media ini, sekitar 200 warga Naibonat yang sudah 27 Tahun berada di kabupaten kupang, provinsi NTT, mulai dari anak-anak, pemuda dan orang tua serta perempuan mendatangi Kantor Gubernur NTT sekitar pukul 10.00 Wita.
Aksi yang di koordinir Henri, (Mahasiswa) berlangsung dengan damai dan tertib hingga berujung Audiensi.
Di ruang Asisten I Sekretariat daerah (Setda) Provinsi NTT dilangsungkan pertemuan dengan Kepala dinas Sosial Provinsi NTT, kepala dinas PUPR dan kepala dinas ketenagakerjaan provinsi NTT serta kepala satuan Polisi Pamong Praja Pol-PP dan Kapolres Kupang Kota.
Saat rapat dimulai, salah satu warga Imanuel Martines mengatakan, rumah yang disiapkan pemerintah di kawasan Burung Unta berukuran sempit, hanya 110 meter persegi, dan tanpa fasilitas vital seperti sekolah, puskesmas, maupun lahan pertanian. Padahal, mayoritas warga menggantungkan hidup dari bertani.
“Kami sudah lama menderita. Tiap lima tahun kami disuruh memilih, tapi setelah itu kami digusur. Kira-kira kami ini warga mana?” tambahnya.
Imanuel menegaskan bahwa mereka tidak akan meninggalkan tanah yang telah mereka tempati sejak eksodus pasca jajak pendapat Timor Timor tahun 1999, sebab tanah tersebut milik pemerintah bukan milik warga lokal.
“Tanah yang kami tinggal ini tidak akan kami kasih, kecuali kami rampas tanah warga lokal. Apapun yang terjadi. Daripada kami ke sana, kami kasih mati anak-anak,” ujarnya dengan tegas.
Sementara koordinator aksi, Henri, menilai proyek pembangunan 2.100 unit rumah di Burung Unta tidak layak dihuni oleh warga. sebab dinilai cacat prosedural dan minim keterlibatan warga.
Ia menyebut proyek ini tidak hanya melanggar prinsip partisipatif, tapi juga diduga menyimpan berbagai pelanggaran hukum.
“Kami minta Gubernur NTT, Melki Laka Lena, menyatakan secara resmi bahwa relokasi ini tidak layak. Rumahnya rusak, tak ada fasilitas umum, dan tidak melibatkan masyarakat. Kami menolak,” tegas Henri.
Selain Henri, adapula Syahrul aktivis dari perwakilan aliansi gerakan reforma agraria menyampaikan hal yang sama yakni penolakan terhadap relokasi.
Penolakan ini didasarkan pada pelanggaran prinsip-prinsip partisipatif seperti yang diamanatkan dalam UU No. 2 Tahun 2012 dan PP No. 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah.
“Masyarakat bukan tidak tahu, tapi mereka menolak secara sadar. Sebagus apapun rumah itu, kalau masyarakat tidak mau, jangan dipaksakan. Yang mereka butuhkan adalah legalitas atas tanah mereka, bukan rumah instan tanpa hak waris,” ujarnya.
Selain itu Syahrul juga menyebut sertifikat rumah di Burung Unta tidak bisa diwariskan. Hal ini dinilainya bertentangan dengan prinsip reforma agraria.
Syahrul mengatakan kasus ini sama dengan konflik agraria lain yang belum tuntas seperti di Pulau Kera.
“Masalah di Pulau Kera juga belum selesai. HGU perusahaan katanya baru saja diperpanjang, dan terus beraktivitas. Ini membingungkan kami minta semua dihentikan sampai ada kejelasan hukum,” tandasnya.
Merespon hal itu, pihak pemerintah melalui dinas PUPR mengatakan akan segera mengevaluasi secara menyeluruh terhadap pola relokasi dan sertifikasi tanah.
“Kalau program ini bantuan, sifatnya sukarela. Kalau relokasi, harus manusiawi dan berbasis dialog. Kami akan kaji ulang model sertifikat dan berkoordinasi dengan BPN agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum,” jelasnya.
Sementara kadis sosial yang memimpin pertemuan tersebut, mengatakan semua poin aspirasi yang dibawa oleh aliansi sudah dicatat dan akan di sampaikan kepada gubernur NTT sekaligus melakukan kajian dan evaluasi agar rakyat tidak di korbankan.