Kupang-suaraNTT.com,-Pengamat hukum Mikael Feka,SH ,MH angkat bicara terkait wartawan kabupaten Kupang dilarang oleh Komisioner KPU kabupaten kupang saat mengambil gambar, Rabu (25/09/2024).
Dijelaskan Mikael Feka, Pilkada merupakan pesta demokrasi, pestanya rakyat untuk memilih pemimpin di daerahnya secara demokratis. Dan penarikan nomor undian merupakan bagian atau tahapan tak terpisahkan dalam pesta demokrasi tersebut.
Pengamat hukum ini, mengatakan salah satu prinsip dalam demokrasi adalah transparansi artinya semua pihak memiliki akses yang sama apalagi pekerja pers.
Dalam konteks pelarangan peliputan kegiatan publik seperti pengundian nomor urut di Pilkada oleh KPU Kabupaten Kupang, terdapat beberapa aspek hukum yang perlu diperhatikan yakni:
1. Hak atas Kebebasan Pers: Kebebasan pers dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28F, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, termasuk wartawan dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers secara tegas melindungi hak pers dalam melakukan kegiatan jurnalistik, termasuk meliput kegiatan yang bersifat publik seperti Pilkada.
2. Transparansi dan Akuntabilitas Penyelenggaraan Pemilihan: Sebagai lembaga penyelenggara Pemilihan, KPU bertanggung jawab untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapannya, termasuk pengundian nomor urut.
KPU memiliki kewajiban untuk menjamin keterbukaan informasi kepada publik, termasuk melalui peliputan oleh media massa.
Jika ada pelarangan peliputan tanpa alasan yang sah, hal ini bisa dilihat sebagai tindakan yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan tata kelola yang baik dalam penyelenggaraan Pemilu.
3. Dampak Hukum dari Pelarangan Peliputan: Larangan peliputan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum dapat dianggap melanggar hak konstitusional pers, dan bisa menjadi dasar untuk dilakukannya tindakan hukum.
Dalam konteks hukum pers, pelarangan ini bisa menjadi bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas melindungi kebebasan pers dan memberikan sanksi bagi siapa pun yang secara melawan hukum menghalangi hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi.
Berdasarkan Pasal 18, setiap orang yang secara sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan hak pers dapat dipidana dengan penjara maksimal 2 tahun atau denda hingga Rp500 juta.
Hak-hak pers ini dijamin dalam Pasal 4 Ayat (3), yang menyatakan bahwa pers nasional berhak memperoleh dan menyebarluaskan informasi.
Oleh karena itu, tindakan KPU yang melarang peliputan pengundian nomor urut dalam Pilkada tanpa alasan hukum yang sah dapat dianggap melanggar ketentuan tersebut dan berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum.
4. Alasan yang Dapat Diterima untuk Pelarangan: Jika ada alasan khusus terkait keamanan atau kerahasiaan tertentu yang diatur oleh undang-undang atau peraturan KPU, maka pelarangan bisa saja dilakukan, tetapi alasan ini harus jelas, sah, dan proporsional.
Kegiatan pengundian nomor urut biasanya merupakan bagian dari proses Pilkada yang terbuka dan diketahui oleh publik, sehingga larangan peliputan harus memiliki dasar yang kuat dan tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang.
5. Melanggar Etika dan Tidak Pantaskah Larangan Dilakukan oleh KPU: Sebagai penyelenggara Pilkada, KPU berkewajiban untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik dalam setiap proses Pemilihan.
Pengamat hukum Mikael Feka mengatakan tindakan melarang peliputan tanpa dasar yang jelas dapat merusak citra KPU sebagai lembaga yang independen, transparan, dan bertanggung jawab.
“Oleh karena itu, pelarangan peliputan tanpa alasan yang jelas dapat dipandang tidak pantas dilakukan oleh KPU karena bisa menimbulkan kecurigaan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap proses Pemilihan,”ungkap Feka.
Larangan meliput oleh KPU Kabupaten Kupang terkait pengundian nomor urut memiliki dampak hukum yakni bisa dipidana jika pelarangan tersebut tidak didasarkan pada alasan hukum yang sah.
Kebebasan pers dan keterbukaan penyelenggaraan Pilkada merupakan prinsip yang harus dijaga oleh KPU sebagai penyelenggara. Wartawan yang merasa dirugikan dapat mengajukan langkah hukum yakni melapor pidana dan melapor kode etik ke DKPP. (***)