RUINAM
Penulis : Julio Purba Kencana
Tidak ada kata yang lebih tepat selain “hancur” untuk menggambarkan kondisi demokrasi di Negara Indonesia saat ini. Korupsi merajalela, nepotisme di mana-mana, dan pemerintahan neo-Orba bangkit dari makamnya. Semua kemungkinan buruk yang dulu ditakutkan para bapak bangsa kini mulai merongrong dan bangkit ke permukaan. Bahkan, #kabur aja dulu tampaknya menjadi solusi yang dianggap tepat untuk menghadapi berbagai permasalahan yang menjerat negeri ini.
Kita semua terjebak dalam kondisi yang sulit dihadapi. Di satu sisi, kita ingin tetap berpegang pada idealisme sebagai warga negara. Namun, himpitan ekonomi yang mencekik memaksa kita menjadi pribadi yang lebih realistis-lebih mementingkan isi perut ketimbang memikirkan angan-angan tentang negara yang sejahtera.
Negeri ini berada di ambang kehancuran. Mahasiswa, yang seharusnya menjadi benteng terakhir perjuangan rakyat, justru dimanfaatkan oleh public figure yang hanya mencari panggung untuk menaikkan popularitasnya. Tidak ada lagi yang benar-benar bisa dipercaya, didukung, atau dibela. Indonesia kini bagai dunia dalam era apocalypse-di mana yang kuat bertahan, dan yang lemah menjadi santapan.
Di tengah segala carut-marut ini, pemerintah bukannya menyelesaikan akar permasalahan. Sebaliknya, mereka justru gencar menggunakan media untuk mengalihkan isu dari satu permasalahan ke permasalahan lain yang pada akhirnya juga tidak mereka selesaikan. Mulai dari skandal pagar laut, korupsi di Pertamina, hingga polemik RUU TNI yang pada dasarnya tak jauh berbeda dengan konsep dwifungsi ABRI di era Orde Baru.
Kegagalan pemerintahan yang didominasi oleh sipil membuat mereka seolah-olah menemukan solusi instan: membiarkan TNI dan institusi lainnya masuk lebih dalam ke dalam pemerintahan. Tanpa memikirkan konsekuensinya, mereka dengan sadar-atau mungkin dalam keadaan setengah sadar-menyerahkan kembali kekuasaan kepada militer. Seakan lupa bahwa kekacauan dan kehancuran di era Soeharto adalah bukti nyata bahwa dwifungsi ABRI/TNI adalah produk gagal. Ironisnya, mereka yang kini duduk di pemerintahan adalah orang-orang yang dulu menggulingkan Orde Baru. Dan kini, mereka justru mencoba mengulang sejarah yang sama. Sungguh tidak masuk akal.
Semua yang telah dicita-citakan di masa reformasi ternyata tetaplah cita-cita belaka, mereka yang dulunya berteriak dan membebaskan rakyat yang tertindas, ternyata tidak berbeda dari orang-orang yang mereka gulingkan dulu. Dengan berbagai macam permasalahan ini mungkin apa yang Wilam Godwin tulis dalam Nquiry Concerning Political Justice (1793) ada benarnya “Pemerintahan dimaksudkan untuk menekan ketidakadilan, tetapi justru menyediakan peluang dan godaan baru untuk melakukannya.”
Hal ini semakin nyata dalam konteks Indonesia saat ini. Setiap kebijakan yang diambil hampir selalu memberikan keuntungan bagi segelintir elit ekonomi dan politik, sementara rakyat hanya dijadikan alat untuk menopang status quo. Ketimpangan sosial semakin melebar, tetapi pemerintah justru sibuk menciptakan narasi palsu tentang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang hanya dinikmati segelintir orang.
Lalu, ke mana arah bangsa ini? Apakah kita akan terus terjebak dalam lingkaran setan kekuasaan yang hanya berpindah tangan tetapi tetap menindas rakyatnya? Ataukah masih ada secercah harapan bagi perubahan yang nyata? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menggantung, menanti jawaban dari generasi yang masih peduli terhadap masa depan negeri ini. Saat ini, keberanian untuk berbicara semakin dipersempit. Kritik dianggap sebagai ancaman, oposisi dibungkam dengan berbagai cara, dan kebebasan berekspresi dipaksa tunduk pada kepentingan oligarki. Sementara itu, rakyat semakin apatis, terbiasa dengan kesewenang-wenangan, dan memilih diam daripada menjadi korban berikutnya. Demokrasi perlahan-lahan berubah menjadi ilusi belaka, sebuah sistem yang hanya tampak hidup di permukaan, tetapi mati di dalamnya. Para aktivis yang dulu berjuang kini memilih untuk diam atau bahkan ikut bermain dalam sistem yang mereka lawan.
Uang dan kekuasaan telah mengubah idealisme menjadi sekadar slogan kosong. Ketika kekuatan rakyat melemah, para pemimpin tak lagi merasa perlu untuk mendengarkan suara di bawah. Mereka hanya sibuk mengamankan posisi dan memperkaya diri sendiri, sementara rakyat dibiarkan berjuang sendiri menghadapi kerasnya kehidupan. Media, yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, justru berubah menjadi alat propaganda yang melayani kepentingan elite. Berita-berita yang seharusnya mengungkap kebenaran malah diselewengkan untuk membangun citra palsu.
Narasi-narasi yang berlawanan dengan kepentingan penguasa perlahan-lahan menghilang, digantikan dengan kisah-kisah yang meninabobokan masyarakat agar tetap patuh dan tunduk. Namun, di tengah segala kemerosotan ini, masih ada harapan.
Harapan itu ada pada mereka yang masih berani berpikir kritis, yang masih mau mempertanyakan narasi yang disajikan, yang tak gentar melawan arus meski harus berhadapan dengan kekuatan besar.
Mereka adalah sisa-sisa keberanian yang mungkin dapat menjadi pemantik perubahan di masa depan. Pertanyaannya adalah, apakah kita masih memiliki keberanian untuk melawan, atau kita akan menyerah dan membiarkan sejarah yang sama terulang kembali? Jika kita diam, maka kehancuran yang kita bicarakan bukan lagi sekadar prediksi, melainkan kepastian yang tinggal menunggu waktu.