SUARANTT.COM,-Ratusan peserta antusias mengikuti seminar kesehatan mental bertajuk “Mengungkap Misteri Bunuh Diri: Antara Trauma, Mental Breakdown, dan Jejak Forensik” yang digelar oleh GBI King Of King’s, Pemuda Generasi Akhir Abraham, Yayasan Kidron Valley, dan Radio Lizbeth di Rumah Doa Abraham, Lanudal, Penfui Kupang pada Sabtu, 29 Maret 2025.
Seminar ini menghadirkan tiga narasumber kompeten dari berbagai disiplin ilmu, yakni Pdt. John Manongga, M.Th, Dr. Edwin Tambunan, Sp.FM, dan dr. Raymond Josafat Major Natanael, Sp.KJ, yang bersama-sama mengupas isu sensitif ini dari perspektif teologi trauma, kesehatan jiwa, dan ilmu forensik.
Tagline yang kuat dan relevan dengan isu terkini berhasil menarik perhatian berbagai kalangan untuk bersama-sama memahami, mencegah, dan merespon fenomena bunuh diri, terutama di kalangan generasi modern.
Pdt. John Manongga, M.Th, dalam pemaparannya yang mendalam, membuka wawasan peserta dengan menyatakan bahwa seringkali, tindakan bunuh diri bukanlah keinginan untuk mati, melainkan luapan dari rasa sakit yang tak tertahankan dan keinginan untuk didengarkan.
“Orang bunuh diri pada dasarnya dia tidak ingin mati, dia ingin didengarkan, dia ingin berhenti dari rasa sakit, tetapi karena dia tidak menyadari dirinya dan tidak tau harus bicara kepada siapa,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Pdt. John mengutip pandangan Serene Jones mengenai teologi trauma sebagai luka mendalam yang menghancurkan kemampuan seseorang untuk hidup utuh. Luka ini menciptakan kehampaan jiwa yang sulit diisi, bahkan oleh kata-kata atau doa.
Menurutnya, bunuh diri kerap menjadi jalan pintas ketika luka trauma tidak tertangani dan harapan seolah sirna. Ia menekankan bahwa teologi trauma mengajak untuk melihat permasalahan ini dengan empati, dari sudut pandang yang berbeda.
Senada dengan itu, dr. Raymond Josafat Major Natanael, Sp.KJ, menyoroti peran besar stigma dalam isu kesehatan mental dan bunuh diri.
“Stigma seputar depresi menciptakan dua permasalahan utama. Pertama, individu yang mengalami depresi cenderung enggan mencari pengobatan yang sebenarnya krusial untuk mencegah risiko bunuh diri. Kedua, stigma ini memicu interpretasi keliru dan menyalahkan, seperti anggapan kurangnya doa, iman, atau adanya dosa tertentu sebagai penyebab depresi. Akibatnya, bukan hanya menghilangkan kasus depresi menjadi sulit, bahkan upaya untuk menguranginya pun terhambat.” jelas dokter spesialis kejiwaan yang akrab disapa Raymond ini.
Ia menekankan pentingnya dukungan dan kehadiran bagi individu yang mengalami depresi atau kecemasan, menjadi jembatan penghubung dan pendengar yang baik.
Sesi diskusi berlangsung interaktif, salah satunya dengan pertanyaan dari Roni, seorang wartawan, yang berbagi pengalamannya tentang agitasi atau dorongan kuat untuk bunuh diri yang terkadang muncul tanpa disadari.
Dr. Raymond menjelaskan bahwa agitasi ini bisa berasal dari luar (orang lain) atau dari dalam diri sendiri (halusinasi atau alam bawah sadar). Ia menyoroti bahwa dorongan bunuh diri saat berada di tempat tinggi bisa jadi merupakan manifestasi dari masalah yang sebelumnya tertekan.
Menanggapi pertanyaan serupa, Pdt. John Manongga menyatakan bahwa teologi trauma mengakui pengalaman tersebut sebagai sesuatu yang eksistensial, bukan sebagai penyangkalan diri atau dosa. Teologi trauma melihatnya sebagai kondisi yang dapat membuat seseorang kehilangan makna hidup dalam upaya mencari jawaban. Namun, jawaban itu dapat ditemukan ketika individu terhubung kembali dengan Sang Pencipta.
Teologi trauma tidak berupaya membela atau mencari alasan Tuhan, melainkan menekankan bahwa individu yang mengalami pergumulan ini tidaklah sendiri. Ada komunitas, dukungan, dan kehadiran Tuhan di tengah luka. Proses pemulihan dapat dijalani melalui konsultasi, berbagi, dan menggali akar permasalahan dengan dukungan keluarga, gereja, dan komunitas, sehingga individu dapat mengingat dan memproses pengalaman traumatis dengan cara yang benar.
Dari sisi forensik, Dr. Edwin Tambunan, Sp.FM, memaparkan tantangan yang dihadapi dalam penanganan kasus bunuh diri di NTT, terutama terkait aspek geografis dan keterbatasan sumber daya.
“Tidak semua kabupaten memiliki dokter forensik. Dokter forensik hanya berpusat di Kupang saja. Untuk kasus-kasus yang terjadi di kabupaten, agak susah kalau harus menghadirkan dokter forensik dari Kupang,” ungkapnya.
Selain itu, keterbatasan alat, akses ke daerah terpencil, serta perbedaan bahasa dan budaya juga menjadi kendala dalam proses identifikasi dan pemeriksaan. Dr. Edwin menjelaskan bahwa forensik fokus pada temuan pemeriksaan pada korban bunuh diri, melengkapi perspektif teologi dan psikiatri.
Seminar ini diharapkan dapat membuka mata masyarakat akan kompleksitas isu bunuh diri, menghapus stigma terhadap masalah kesehatan mental, serta mendorong terciptanya lingkungan yang suportif bagi mereka yang sedang berjuang. Dengan pemahaman yang lebih mendalam dari berbagai perspektif, diharapkan upaya pencegahan dan penanganan bunuh diri dapat menjadi lebih efektif dan membawa harapan bagi banyak jiwa. (***)