Kupang-suaraNTT.com,-Kemiskinan NTT, (Kemiskinan) merupakan realita sosial yang menjadi persoalan serius yang paling momok dan hampir terjadi di seluruh belahan dunia. Kemiskinan terjadi di mana mana, baik negara maju maupun negara berkembang, di kota kota bahkan di desa desa.
Kemiskinan tidak memandang usia, mulai dari balita, remaja, orang dewasa dan orang tua. Kemiskinan dianggap sebagai persoalan yang paling menakutkan karena sangat berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup manusia. Sejak adanya kesadaran akan bahaya kemiskinan, sejak itu pula cara untuk mengentas kemiskinan diperbincangkan oleh semua pihak, baik oleh masyarakat kelas atas, kelas menengah bahkan masyarakat kelas menengah kebawah.
Untuk mengukur kemiskinan di Indonesia, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Basic need Approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari segi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang di ukur dari segi pengeluaran.
Soerjono Soekanto mengartikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. (Soekanto, 1982 : 10).
Gustavo Gutiérrez dalam pandanganya yang dilatarbelakangi oleh pengalaman praksisnya ketika berada di Amerika Latin, menganggap kemiskinan sebagai skandal yang tidak sesuai dengan martabat manusia dan mengklasifikasikan kemiskinan mejadi dua. Pertama, memang benar bahwa kebanyakan penduduk adalah orang miskin karena mereka lahir sebagai orang miskin. Mereka malas, tidak kreatif, tidak tekun dalam bekerja, tidak disiplin. Mereka terlalu santai. Gutiérrez melihat kemiskinan seperti ini adalah kemiskinan individual.
Kemiskinan itu dapat diatasi dengan memberikan pelatihan, pendidikan atau pembinaan mental. Namun kemiskinan jenis kedua jauh lebih parah karena kemiskinan jenis ini disebabkan oleh orang lain berupa penindasan, eksploitasi atau penghisapan tenaga orang sehingga orang terpasung di dalam kemiskinan. Kemiskinan ini disebut sebagai kemiskinan struktural atau kemiskinan institusional.
Ada sistem-sistem tertentu yang mengatur sehingga terjadi pemasungan. Struktur masyarakat seolah-olah tercipta demi memberikan kesejahteraan kepada masyarakat namun kenyataannya struktur itu membelenggu orang di dalam kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023 mencatat angka kemiskinan nasional masih 9,36 persen. Padahal, target angka kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 6,5 – 7,5 persen.
Di NTT Presentase penduduk miskin per Maret Tahun 2023 19,96 persen turun hingga 0,27 persen dari kondisi September 2022.
Status Provinsi NTT sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia sangat paradoks dengan kondisi kekayaan sumber daya alam yang ada di NTT.
Potensi sumber daya alam di NTT seperti laut yang luas, pariwisata, tanah yang subur dan kebudayaan yang bercorak agraris seharusnya bisa membawa Provinsi NTT bisa keluar dan bebas dari belenggu kemiskinan.
Penulis berpandangan bahwa persoalan kemiskinan di Provinsi NTT merupakan kemiskinan struktural atau kemiskinan yang dipelihara.
Persoalan ini disebabkan oleh manajemen kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat miskin serta tidak bisa menjawab kebutuhan masyarakat miskin dan justru kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah malah memfasilitasi kemiskinan di Provinsi NTT tetap tumbuh subur dan berpihak kepada kepentingan kapitalis.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan pemerintah yang memberi akses dan keleluasaan penuh terhadap kapital asing untuk mengelola sektor strategis di NTT yang sangat berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan ekonomi di NTT seperti sektor pariwisata dan lainya.
Dilansir dari film dokumenter “Dragon For Sale”, menunjukan bahwa pengelolaan sektor pariwisata yang merupakan sektor yang sangat strategis masi didominasi oleh kapital asing.
Konsekuensi logis dari situasi ini yaitu masyarakat NTT bekerja untuk pemodal asing bukan demi menyejahterakan dirinya melainkan demi meningkatkan kekayaan pemodal.
Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan kemiskinan di NTT harus ada sebuah kebijakan yang cukup radikal dari pemerintah dan berpihak pada kebutuhan rakyat miskin serta seluruh rancangan pembangunan dipastikan tidak mencederai atau melacuri nilai budaya masyarakat yang sudah lama hidup berdampingan dengan masyarakat.
Dengan demikian masyarakat NTT menjadi manusia bermartabat dan merdeka di atas tanahnya sendiri.
Penulis: Iwan Mardin
Kampus: Fisip Unwira Kupang
Aktivis PMKRI Cabang Kupang