TTU-suaraNTT.com,-Masyarakat adat Desa Noepesu dan Fatuneno, Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), bersama dengan mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil, secara tegas menolak perubahan status Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional.
Hal ini terlihat dari aksi demonstrasi yang mereka lakukan di depan Gedung DPRD TTU pada Kamis, 14 November 2024 siang, yang menunjukkan semakin memanasnya polemik terkait kebijakan tersebut.
Pasalnya, pusat konservasi alam yang selama ini terpelihara dengan baik dan menjadi kebanggaan masyarakat karena memberi penghidupan, justru diubah fungsinya sebagai zona pemanfaatan.
Mereka sangat merasa kecewa semenjak dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI tanpa melalui proses sosialisasi yang memadai. Langkah tersebut justru dinilai sebagai pemicu yang mencederai perasaan masyarakat, terlebih masyarakat Desa Noepesu dan Fatuneno yang berdiam mengitari Gunung Mutis.
“Bagi kami, Mutis adalah simbol martabat orang Timor, karena bersentuhan langsung dengan nadi kehidupan kami. Mutis ibarat ibu yang menyusui, karena dari padanya datang sumber air yang memberi kehidupan bagi masyarakat TTU, TTS, sebagian Kabupaten Kupang, bahkan Timor Leste (Oecusse),” tegas Rm. Paulus B. Hobamatan, Pr, salah satu tokoh agama di Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga Eban, yang turut memberikan dukungan kepada masyarakat adat.
Aksi unjuk rasa yang terus dilakukan ke DPRD TTU untuk memastikan dukungan lembaga legislatif dalam memperjuangkan agar status Cagar Alam Mutis tetap dipertahankan.
“Masyarakat tidak berurusan dengan pertimbangan apapun hingga mengubah status Cagar Alam Mutis. Masyarakat hanya menuntut satu hal yakni SK Menteri LHK RI soal penurunan status Cagar Alam Mutis menjadi taman nasional ditinjau dan dicabut kembali. Karena bagi kami, perubahan status Cagar Alam Mutis adalah sebuah penghianatan terhadap alam dan masyarakat,” ujar Rm. Pulus kepada wartawan Beritaopini.id usai aksi.
Beliau juga mengacu pada ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiskus yang menekankan pentingnya menjaga kelestarian bumi sebagai ibu yang memberi kehidupan.
“Bumi sebagai ibu harus dijaga kelestariannya, karena bumi memberi kehidupan bagi makhluk hidup. Bumi juga adalah tumpuhan kaki Tuhan yang tidak boleh diobrak-abrik untuk kepentingan pihak-pihak tertentu dan mengorbankan rakyat banyak,” tegas Rm. Paulus.
Beliau juga mempertanyakan beberapa hal terkait keputusan pemerintah pusat ini, antara lain:
1. Ketergesahan apa yang mendorong pemerintah pusat mengubah status cagar alam Mutis menjadi taman nasional?
2. Apakah pemerintah masih kooperatif dengan hak-hak masyarakat adat/hak ulayat?
3. Apakah jabatan setingkat menteri memiliki hak prerogatif dengan memberikan keputusan tanpa sosialisasi atau ada ketergesahan lain?
Demonstrasi menuntut ketegasan DPRD dan Pemerintah Daerah TTU terkait perubahan status Cagar Alam Mutis kemudian mendapat tanggapan langsung dari Ketua DPRD TTU melalui audiens.
Dalam audiens tersebut, Ketua DPRD TTU, Kristoforus Efi, menegaskan komitmen DPRD untuk berada di pihak rakyat dan membuka ruang dialog guna merumuskan langkah-langkah strategis dalam menghadapi keputusan pemerintah pusat terkait Cagar Alam Mutis.
“Sikap DPRD adalah ada bersama rakyat, sudah pasti menolak. Untuk itu, saya mau kita berdiskusi terkait usul saran dan langkah-langkah apa supaya lebih cepat tuntas karena keputusan ini adalah keputusan mentri. Oleh karena itu mari kita khawali sikap kita itu supaya ada solusi dan jangan ada ketergesahan,” ungkapnya. (Nino)