Menjawab Argumen Sam Haning : Batas Usia Bukan Diskriminasi, Tapi Wujud Tertib Administrasi

Berita108 Dilihat

SUARANTT.COM,-Dalam sebuah pernyataan publik yang cukup kontroversial, anggota Panitia Seleksi pengangkatan Direktur Utama PDAM Kabupaten Kupang, Sam Haning, menyatakan bahwa penetapan batas usia calon Dirut sebagaimana diatur dalam PP No. 54 Tahun 2017 dan Permendagri No. 37 Tahun 2018 bersifat diskriminatif. Ia bahkan mempertanyakan, “mana yang lebih tinggi, PP dan Permendagri atau Undang-Undang Dasar 1945?” serta menyebut tindakan panitia sebagai bentuk keadilan karena “tanpa diskriminasi umur”.

Sepintas, pernyataan ini terdengar progresif dan membela hak-hak warga negara. Namun dalam kerangka hukum tata negara dan administrasi pemerintahan, pernyataan tersebut mengandung sejumlah kekeliruan mendasar yang perlu dikritisi secara akademik.

1. Hierarki Hukum Tidak Menghapus Syarat Teknis

Benar bahwa UUD 1945 adalah norma hukum tertinggi dalam sistem hukum Indonesia. Namun, tidak berarti setiap peraturan di bawahnya yang memuat batasan administratif otomatis bertentangan dengan UUD.

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 memang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tetapi perlu diingat bahwa hak atas pekerjaan bukanlah hak yang bersifat absolut, melainkan hak yang tunduk pada batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang untuk kepentingan umum dan tertib administrasi.

Oleh karena itu, ketika PP dan Permendagri mengatur syarat usia antara 35 hingga 55 tahun bagi calon Direktur Utama BUMD, maka itu merupakan bentuk pengaturan yang sah dan sahih secara konstitusional, karena bersumber dari delegasi kewenangan legislasi dan bertujuan menjaga efektivitas manajemen.

2. Batas Usia : Diskriminasi atau Diferensiasi yang Sah?

Istilah “diskriminasi” yang digunakan oleh Sam Haning menunjukkan kekeliruan dalam memahami makna hukum dari tindakan administratif yang diferensial tetapi proporsional. Batas usia dalam jabatan publik bukan hal baru—kita temui dalam batas usia pensiun ASN, usia maksimal seleksi CPNS, hingga usia minimal calon presiden.

Bahkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-X/2012, Mahkamah menyatakan bahwa pembatasan usia dalam kebijakan publik diperbolehkan sepanjang ada dasar hukum, tujuan rasional, dan bersifat proporsional. Dalam hal ini, pengaturan usia bagi Dirut BUMD bukan bentuk diskriminasi, tetapi diferensiasi administratif yang ditujukan untuk menjaga profesionalisme dan regenerasi manajemen.

3. Panitia Seleksi Tidak Berwenang Menafsirkan UUD 1945 untuk Menyimpangi Peraturan

Pernyataan Sam Haning yang seolah menempatkan dirinya sebagai penafsir UUD 1945 untuk membenarkan pelanggaran terhadap PP dan Permendagri, mencerminkan kesalahan prosedur logika hukum. Panitia Seleksi bukan Mahkamah Konstitusi. Mereka terikat untuk menjalankan aturan yang berlaku, bukan menafsirkan dan menabraknya atas nama “keadilan”.

Jika merasa aturan usia dalam PP 54/2017 bertentangan dengan UUD 1945, maka jalan yang sah adalah melalui judicial review ke Mahkamah Agung (untuk PP) atau ke MK (untuk UU)—bukan dengan melanggarnya begitu saja.

4. “Rekrutmen Inklusif” Tidak Bisa Melegitimasi Pelanggaran Aturan

Dikatakan bahwa panitia justru luar biasa karena merekrut tanpa diskriminasi umur. Pernyataan ini berbahaya jika dijadikan praktik. Sebab, apabila semua persyaratan teknis diabaikan demi retorika “inklusivitas”, maka tata kelola pemerintahan akan kehilangan disiplin administratif.

Dalam dunia manajemen publik, inklusivitas tidak boleh berarti pelanggaran terhadap hukum yang berlaku. Sebab ketika syarat usia saja dilanggar, lalu apa jaminannya bahwa syarat lainnya (misalnya pengalaman kerja, bebas pidana, dan kompetensi teknis) dipatuhi?

5. Prinsip Legalitas Adalah Pilar Birokrasi Modern

Pengangkatan pejabat publik bukan urusan belas kasih atau simpati, melainkan urusan legalitas dan akuntabilitas. Panitia Seleksi adalah pelaksana teknis dari regulasi, bukan interpreter moral yang dapat menafsirkan hukum berdasarkan perasaan.

Oleh karena itu, mengabaikan ketentuan batas usia sama artinya dengan melanggar prinsip legalitas, dan hasil seleksi tersebut dapat dinilai cacat hukum, serta membuka ruang koreksi administratif oleh atasan pejabat pembuat keputusan (dalam hal ini, Gubernur NTT).

Penutup

Pernyataan Sam Haning, meskipun disampaikan dengan semangat membela hak warga negara, justru mencerminkan kekeliruan fatal dalam logika hukum dan administrasi. Hak atas pekerjaan tidak berarti hak atas jabatan apapun tanpa mematuhi persyaratan yang ditetapkan hukum. Mengangkat seseorang yang tidak memenuhi syarat usia bukanlah bentuk keadilan, tetapi bentuk pelanggaran terhadap aturan yang berlaku.

Dalam negara hukum, aturan tidak dapat dikalahkan oleh retorika. Dan keadilan tidak bisa dibangun di atas pelanggaran hukum. Maka, sikap masyarakat dan warga yang menempuh upaya administratif ke Gubernur NTT merupakan cerminan dari semangat konstitusional yang sah, bukan bentuk kegaduhan.

Justru inilah demokrasi : ketika logika hukum berbicara lebih lantang daripada retorika kuasa.

Catatan

Opini ini merupakan respons terhadap polemik seleksi Dirut PDAM Kabupaten Kupang. Penulis siap dihubungi untuk klarifikasi atau diskusi lebih lanjut melalui nomor telepon (081237308513).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *