Kefamenanu di Usia 102; Tantangan dan Harapan Pembangunan di Tengah Kegelisahan Identitas

AKU MENCARI TTU

(HUT 102 KEFAMENANU)

Oleh: Yan Kefi

Warga Kelurahan Sasi-Kota Kefamenanu

TTU-sauaraNTT.com,-Apakah anda masih merasa memiliki sebuah negeri yang bernama Timor Tengah Utara? Negeri ini kemudian diakronimkan dengan sebutan Biinmaffo (Biboki, Insana, Miomaffo) yang berumah besar dan satu (ume naek, ume mese) di ‘Kefa’mnanu’- Kefamenanu. Mengapa selalu ada lontaran pertanyaan ini, ketika masyarakat TTU merayakan HUT ke 102 Kota Kefamenanu.

Bentangan usia yang sudah berada dalam lingkaran seabad lebih dua tahun. Sebuah usia yang seharusnya dapat menjauhkan kita dari kerisauan dan kecemasan. Sebab apa artinya krisis dan persoalan hidup, ketika daerah kita sudah melangkah sedemikian panjang dalam usianya.

Sesungguhnya, memang tidak perlu ada yang disesali untuk sebuah masa lalu kalau saja daerah ini memiliki sebuah kepastian tentang masa depan yang cemerlang. Tetapi entahlah, pertanyaan dan gugatan-gugatan itu mendesakkan sesuatu, tentang sebuah ziarah negeri yang terjal-jurang yang dalam (Kefa’mnanu) dan menemui suatu tanda tanya bahkan kebuntuan.

Membaca salah satu artikel yang berjudul; Peringatan HUT Kota Sari-Kefamenanu ke 102 Tantangan dan Harapan untuk Pembangunan Kabupaten TTU (Media Online Sergap.co.id, 18/09-2024), Saya tergerak untuk menyambung ‘omongan’ itu melalui coretan kecil ini.

Tentu tidak ada soal mendasar jika kita sebagai masyarakat TTU dan seorang pejabat publik Agustinus Siki SH, Wakil Ketua DPRD TTU menyentil tantangan dan harapan pembangunan TTU ke depan. Menjadi soal serentak menuntut perjuangan. Masyarakat TTU patut memaknai dengan tatapan kritis gagasan brilian dan keberlanjutan pembangunan ke depan.

Amnesia Sejarah

Dalam folklore lisan masyarakat Dawan- TTU atau sekurang-kurangnya dari sejumlah stensilan sejarah yang pernah ditulis dan semakin usang di perpustakaan, kita dapat mengenal betapa daerah TTU begitu khas dengan keragaman latar belakang sejarah, adat-budaya, sosial dan keadaan alam yang indah mempesona sudah merupakan goresan estetik paling mencengangkan. Menelusuri daerah ini kita cukup memberi satu nama yaitu Biinmafo.

Biinmaffo adalah sebuah wadah yang mewakilkan energi humanitas dalam semarak dan harmoni untuk membangun dan membentuk kehidupan bersama. Sebentuk kehidupan yang

“Terdefenisikan” dengan sangat ringkas tetapi padat:“Salu Miomaffo, Kuluan Maubes”. Salu di Miomaffo Barat, merupakan wilayah pusat Miomaffo, (wilayah Miomaffo selain Salu) wilayah kekuasaan Mafo Taek.

Kuluan (Biboki) wilayah kekuasaan Boki Taek dan Maubes (wilayah kekuasaan Sana Taek). Biinmaffo mengandung “roh sejarah” tentang sinergi kekuatan dan prospek membangun sebuah daerah dan mendefinisikan sebuah pencaharian historis yang bermakna.

Ketika keluar dari Noetoko, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Sketel Olifielt yang disebut juga Letnan Teb-tebes melakukan serangkaian persinggahan dan menetap di beberapa tempat.

Bermula dari Noetoko-Oetulu-Nilulat-Oefui-Fatuknapa-Ekat-Neten-Ukimnatu-Buk-Haumeni-Oeapot-Faotsuba-Oe-ekam-Nunpene-Matmanas-Tele dan Kefa’mnanu.

Kisah heroisme Letnan Teb-tebes dan rakyat dari ketiga swapraja di Onderafdeeling Noord Midden Timor (Miomaffo, Insana dan Biboki) yang membuka akses transportasi dan menerka tempat strategis berdirinya Kota Kefamenanu begitu menyentuh kita. Seolah-olah kita begitu dekat dengan masa perjuangan itu dan dapat merasakan bagaimana jerih payah dan petualangan panjang nirmakna.

Tantangan dan Harapan

Sejarah negeri TTU tidak segemerlap catatan rapi dan sistematis dalam sejumlah folklore lisan. Kini kita menghadapi kenyataan hidup antara tantangan dan harapan. Tragedi demi tragedi. Bahkan, kita merancang penghacuran demi penghancuran dalam fase sejarah yang sudah berlalu dan juga kehidupan kita sekarang.

Apa artinya merasa memiliki (sense of belonging) Kota Kefamenanu di usianya yang ke-102 ketika banyak tantangan mendera; pembangunan infrastruktur sebagai prioritas sudah optimal?. Khususnya perbaikan jalan, keterbatasan fasilitas kesehatan seperti di RSUD Kefamenanu yang sudah tidak layak pakai. Dalam bidang pendidikan masih ada keterbatasan fasilitas sekolah dan gedung di daerah-daerah terpencil.Ada luka menganga beberapa kasus dalam skala kecil, menengah dan bahkan sebagai tragedi kemanusiaan maha dashyat yang belum dituntaskan. Kita belum lagi menyebut sederetan persoalan pelik lainnya.

Momentum HUT Kota Kefamenanu ke 102 menyisahkan sebuah tanya serentak optimalisasi perjuangan yang nyata. Perlunya program pembangunan yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan.

Pengembangan kawasan di sekitar lapangan terbang Sasi yang bisa dioptimalkan untuk Pasar raya, Rumah sakit, stadion olahraga, “Gelora Biinmaffo” dan fasilitas umum lainnya Dengan ini dapat menggerakkan ekonomi lokal dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Pengembangan ekonomi kreatif lewat program pemberdayaan masyarakat yang mendukung pertumbuhan usaha lokal dan memaksimalkan hasil pertanian. Banyak masyarakat TTU yang memilih untuk bekerja di luar daerah karena kurangnya peluang di negeri sendiri. Tantangan yang signifikan dan harapan bagi pengembangan Kabupaten TTU harus terus diperjuangkan dan diperjelas.

Kemunduran bahkan penghancuran sistematis lainnya masih menunggu kita di setiap tikungan sejarah. Barangkali, dulu, terlampau di awang-awang ketika kita membayangkan Biinmaffo. Kita terlalu membayangkan sebuah daerah yang memiliki setumpuk kekayaan dan sejumlah kebanggaan lainnya. Itu semua masa lalu, ketika kita masih memiliki “keseganan” merusak, mencabik, mencuri, melukai dan merampok harta karun ibu pertiwi Biinmaffo demi kepentingan diri sendiri, segelintir orang dan rezim yang berkuasa. Kita begitu saja sampai pada sejumlah pertanyaan dan kebingungan yang terus membesar begitu memikirkan daerah Biinmaffo. Biinmaffo sebagai perekat ketiga swapraja dalam bingkai TTU.

Membangun Diskursus

Ada yang bertanya, apa perlunya kita mempertahankan TTU kalau ia hanya menghasilkan seri kehilangan roh dan ketidakpastian bagi sebagian besar anak daerah ini. Kita tidak harus mempertahankan TTU ketika ia menjadi rumah pengap karena memelihara permusuhan dan melanggengkan budaya kematian yang mencekam.

Kalau anda sempat memikirkan nasib TTU, tidak berlebihan kita bisa mengatakan sesungguhnya daerah ini sedang menanggung tragedi usang dan pahit dalam sebagian sejarahnya yaitu situasi alienasi dari hakikat “kebiinmaffoan.”

Kita memang membutuhkan sebuah ruang untuk memikirkan kembali TTU. Kita mesti mendefinisikan kembali TTU yang sudah amat terkoyak ini. Tidak ada alasan lain yang lebih rasional untuk merumuskan kembali substansi.

“Kebiinmaffoan” selain semakin menguatnya kenyataan bahwa TTU sedang merancang perilaku menuju kemunduran bahkan kepunahan. TTU sedang menggagas proses pelenyapan yang amat tragis. Soalnya apa yang paling dominan sekarang ini cuma semakin liarnya pertarungan untuk memperkuat posisi dan melanggengkan kekuasaan.

Quo vadis Kefamenanu? Adalah satu-satunya pertanyaan yang tersisa diusianya yang ke-102, pada tahun 2024 ini. Sebuah pertanyaan yang tidak perlu diajukan jika TTU berhasil mematok target-target masa depan. Sesungguhnya kita harus malu jika pada usia ini, ketika kita masih bertanya kemana TTU akan melangkah.

Tragisnya, perjalanan daerah ini hanya bermuara pada tapak-tapak hidup dan pembangunan yang belum terarah dan pada galibnya retak dan rapuh. Inilah kisah masa tua yang “mengenaskan” tentang sebuah daerah. Dan terdengarlah teriakan dimana-mana dan dari mana-mana. Kemana arah larinya TTU.

Daerah yang sejarahnya lahir dari petualangan panjang bermula dari Fundator Letnan Coonmestz, Letnan Z. Steinmetz sebagai Controleur Landschoofd Noord Midden Timor. Dilanjutkan petualangan dibawah pimpinan Letnan Sketel Olifielt, pimpinan pemerintahan militer Belanda yang membawa pasukan Belanda masuk ke lembah Bikomi dan merintis berdirinya Kota Kefamenanu. Andaikan saat ini, berdiri juga di samping para pejabat TTU, Letnan Sketel Olifielt, pasti suasana terasa lain.

Terbayang Letnan Sketel seorang kakek tua, sedang berdiri membungkuk, sebilah tongkat kayu dipakai untuk menopang kakinya yang mulai letih dan sedikit gemetar. Ia berusaha mendongkak ke atas, menatap langit Kota Kefamenanu. Terbayang lagi, mata tuanya yang sudah rabun itu mengerjap basah. Kakek Sketel menangis.

Entah menangis karena sangat gembira dan bahagia atau karena melihat Kota Kefamenanu ibukota Kabupaten TTU yang sudah berubah dan dililiti dengan aneka persoalan. Andaikan saja usia Letnan Sketel masih panjang dan diizinkan Sang Khalik untuk pelesir ke Kota Kefamenanu, pasti seribu kisah masa lalu akan ia tuturkan pada warga TTU. Daerah yang pernah mempunyai pejabat tokoh-tokoh yang dedikatif dan visioner dengan ide-ide brilian nan humanis seperti Petrus Salassa, Agustinus Lede Umbu Zaza, dan Hendrikus Sakunab telah melenyap.

“Aku rindu Kefamenanuku”. Sungguh, tinggal sebuah “kalimat patah” pada HUT ke-102. Selamat Hari Ulang Tahun Kefamenanu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *